Jumat, 17 Januari 2020

MARITIME SECURITY


Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh salah satu author pada sebuah forum pelatihan ISPS – Code pada pertengahan tahun lalu dikatakan bahwa hal yang di jadikan dasar atau acuan dilakukannya sertifikasi ISPS adalah pertemuan IMO (International Maritim Organization) atau dalam bahasa Indonesia nya adalah Organisasi Maritim Internasional serta amandemen SOLAS. 1948. SOLAS adalah “Safety of Life at Sea” lebih lengkapnya adalah International Convention for Safety of Life at Sea. Atau dalam bahasa indonesianya adalah “Keselamatan Jiwa di Laut “. Referensinya adalah :
# Amandemen yang disahkan 1966, 1967, 1968, 1969, 1971 dan 1973
- International Safety Management (ISM Code)
- High Speed Craft Code (HSC Code)
# Konferensi 108 negara anggota IMO di London pada tanggal 9 s/d 13 Desember 2002
……………….
Dalam konferensi 108 negara anggota IMO tahun 2002 tersebut yang dibahas adalah Menentukan langkah-langkah serius untuk pengamanan maritim pencegahan dan peraturan yang tegas tentang terorisme terhadap Kapal. Dari kKonferensi IMO tersebut menghasilkan 11 resolusi terdiri dari :
RESOLUSI 1 : Mengesahkan Amandemen SOLAS 74
RESOLUSI 2 : Mengesahkan Draft ISPS Code
RESOLUSI 3 : Pekerjaan lanjutan IMO dalam rangka peningkatan keamanan maritim
RESOLUSI 4 : Amandemen mendatang terhadap Bab XI-1 dan XI-2
RESOLUSI 5 : Promosi kerjasama dan bantuan teknis
RESOLUSI 6 : Penerapan awal langkah khusus utk meningkatkan keamanan maritim
RESOLUSI 7 : Penetapan pedoman yg sesuai thdp hal-hal yang tidak diatur Bab XI-2
RESOLUSI 8 : Kerjasama dengan ILO (International Labor Organizations)
RESOLUSI 9 : Kerjasama dengan WCO (World Customs Organizations)
RESOLUSI 10 : Penerapan Long range Identification & Tracking
RESOLUSI 11 :  Aspek yang terkait dengan manusia & ijin turun ke darat
…………..
Dalam konferensi IMO juga menyetujui pemberlakuan International Ship Security and Port Facility Code (ISPS Code). Pemenuhan Part A dari ISPS Code adalah mandatory atau wajib bagi kapal-kapal yang terkena lingkup penerapan serta fasilitas pelabuhan yang melayani jasa kepelabuhan terhadap kapal`yang beroperasi secara internasional. Tanggal 12 September 2002 . Lalu apa sih tujuan dari ISPS-Code itu..?
Tujuan secara umumnya adalah :
  • Membentuk kerangka kerjasama internasional antar negara-negara anggota (Contracting Government), Badan-badan pemerintah, Pemerintah setempat, Industri Pelayaran dan Pelabuhan untuk mendeteksi ancaman keamanan dan mencegah insiden keamanan yang berpengaruh terhadap kapal-kapal atau fasilitas pelabuhan yang dipergunakan untuk perdagangan internasional.
  • Menetapkan peran dan tanggung jawab setiap negara anggota (Contracting Government), Badan-badan pemerintah, Pemerintah setempat, Industri Pelayaran dan Pelabuhan, baik ditingkat nasional maupun internasional untuk menjamin keamanan di laut (maritim).
  • Menjamin pengumpulan dan saling tukar informasi keamanan yang dini dan efisien.
  • Menyediakan suatu metodologi untuk penilaian keamanan yang dipergunakan untuk membuat rencana keamanan dan prosedur-prosedur untuk tindakan aksi terhadap perubahan setiap level keamanan.
  • Menjamin kepercayaan diri bahwa tindakan keamanan maritim telah mencukupi dan sesuai dengan proporsinya.
ISPS Code ini mulai diberlakukan secara internasional mulai 1 Juli 2004, bagi jenis atau tipe kapal yang melayari perairan internasional, yang meliputi Kapal Penumpang, termasuk High Speed Passenger Craft, Cargo Ship, termasuk High Speed Craft dengan tonase > 500 GT dan Mobile Offshore Drilling Unit (MODU). Dan Fasilitas Pelabuhan yang memberi layanan terhadap kapal-kapal yang melayari perairan internasional.
……………
Jika merujuk kepada persyaratan ISPS Code, semua kapal yang terkena peraturan ini, harus menetapkan Sistem Manajemen Keamanan kapal yang di dokumentasikan dalam manual Ship Security Plan (SSP) dalam rangka menjamin operasional kapal dengan aman. Persyaratan tersebut, meliputi mendokumentasikan Ship Security Assessment (SSA) & Ship Security Plan (SSP), menerapkan dan mempertahankan Sistem Manajemen Keamanan yang pada akhirnya akan diverifikasi oleh Pemerintah atau organisasi yang diakui (Recognized Security Organization / RSO) dalam rangka penerbitan sertifikat International Ship Security Certificate (ISSC) setelah dipenuhinya semua persyaratan ISPS Code. Masa berlakunya sertifikat ISSC adalah 5 tahun. Kapal yang tidak dapat memenuhi persyaratan ISPS Code akan menghadapi kesulitan dalam operasionalnya, khususnya diperairan internasional.
…………………..
Dalam kaitannya dengan pembajakan kapal Sinar Kudus di Somalia, tentunya secara prosedur penanggung jawab kapal tersebut harusnya sudah sangat memahami apa saja aturan aturan yang harus diperhatikan ketika dia akan melintas diwilayah perairan internasional, karena di dalam kapal itu pun semestinya sudah ada ship security officer atau SSO yang bertanggung jawab pebuh terhadap semua yang ada di dalam kapal tersebut. Seorang SSO seharusnya paham betul terhadap SOP, jalur mana saja yang boleh di lalui pun seharusnya dipahami.
…………….
Peristiwa pembajakan kapal Sinar Kudus di Somalia yang memuat nikel milik PT. Inco yang notabene adalah salah satu produsen nikel di Indonesia dan utama dunia. Kerugian material atas pembajakan kapal tersebut sangatlah besar bagi PT. Samudra Indonesia sebagai shipping company karena harus membayar tebusan yang bernilai milyaran Sedangkan bagi INCO sendiri pasti telah meng-asuransikan nikel miliknya..
………………
Jika ISPS code adalah sertifikasi yang mengatur kapal kapal yang melintasi pelabuhan internasional, lalu adakah aturan khusus untuk kapal lokal? Menurut Author dari perhubungan laut dalam sebuah training bahwa kapal lokal dan pelabuhan lokal tidak harus comply terhadap yang ada di dalam ISPS code…Namun demikian jika perusahaan shipping dan pelabuhan lokal yang menerapkan ISPS code boleh2 saja.. Jadi berpikir tentang kapal-kapal yang tenggelam karena overload, bisa jadi kapal tersebut sangat minim pengawasannya.


International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code
Kapal Internasional dan Port Facility Security (ISPS) Code adalah amandemen Keselamatan Life at Sea (SOLAS) Konvensi (1974/1988) di minimum pengaturan keamanan untuk kapal, pelabuhan dan lembaga pemerintah. Setelah mulai berlaku pada tahun 2004, ia menentukan tanggung jawab kepada pemerintah, perusahaan perkapalan, kapal personil, dan pelabuhan / fasilitas personil untuk "mendeteksi ancaman keamanan dan mengambil tindakan pencegahan terhadap insiden keamanan yang mempengaruhi kapal laut atau fasilitas pelabuhan yang digunakan dalam perdagangan internasional
Sejarah
The IMO menyatakan bahwa "The International Ship dan Port Facility Security Code (ISPS Code) adalah serangkaian langkah-langkah komprehensif untuk meningkatkan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan, yang dikembangkan sebagai tanggapan atas dianggap ancaman terhadap kapal dan fasilitas pelabuhan di bangun dari serangan 9 / 11 di Amerika Serikat "(IMO).

Pengembangan dan pelaksanaan yang dipercepat drastis dalam reaksi terhadap September 11, 2001 serangan dan pemboman kapal tanker minyak Perancis Limburg. US Coast Guard, sebagai badan yang memimpin di Amerika Serikat delegasi Organisasi Maritim Internasional (IMO), menganjurkan untuk mengukur. [2] Kode itu setuju pada pertemuan 108 SOLAS penandatangan konvensi di London pada bulan Desember 2002. Menyetujui langkah-langkah di bawah Kode dibawa mulai berlaku pada 1 Juli 2004

Lingkup
Kode adalah dua bagian dokumen yang menguraikan persyaratan minimum untuk keamanan kapal dan pelabuhan. Bagian A memberikan persyaratan wajib. Bagian B memberikan bimbingan untuk pelaksanaannya. 

ISPS Code berlaku untuk kapal-kapal pelayaran internasional (termasuk kapal penumpang, kargo kapal-kapal dari 500 GT dan ke atas, dan mobile unit pengeboran lepas pantai) dan fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal tersebut. [3] 

Tujuan utama dari ISPS Code adalah: 

     * Untuk mendeteksi ancaman keamanan dan menerapkan langkah-langkah keamanan 
     * Untuk menetapkan peran dan tanggung jawab tentang keamanan maritim bagi pemerintah, pemerintah daerah, industri kapal dan pelabuhan di tingkat nasional dan tingkat internasional 
     * Untuk menyusun dan menyebarluaskan informasi yang berhubungan dengan keamanan 
     * Untuk menyediakan metodologi untuk penilaian keamanan sehingga ada di tempat rencana dan prosedur untuk bereaksi terhadap perubahan tingkat keamanan

Persyaratan
Kode tidak menjelaskan langkah-langkah spesifik bahwa setiap pelabuhan dan kapal harus ambil untuk menjamin keselamatan fasilitas melawan terorisme karena banyaknya jenis dan ukuran dari fasilitas ini. Sebaliknya itu menguraikan "standar, kerangka kerja yang konsisten untuk mengevaluasi risiko, memungkinkan pemerintah untuk mengimbangi ancaman perubahan dengan perubahan dalam kerentanan untuk kapal dan fasilitas pelabuhan." 

Untuk kapal mencakup kerangka persyaratan untuk: 

     * Kapal rencana keamanan. 
     * Kapal petugas keamanan 
     * Perusahaan petugas keamanan 
     * Beberapa peralatan onboard 

Untuk fasilitas pelabuhan, persyaratan meliputi: 

     * Port fasilitas rencana keamanan 
     * Port petugas keamanan fasilitas 
     * Beberapa peralatan keamanan 

Selain persyaratan untuk kapal dan fasilitas pelabuhan meliputi: 

     * Pemantauan dan mengontrol akses 
     * Memantau kegiatan orang dan kargo 
     * Memastikan keamanan komunikasi sudah tersedia



KEWENANGAN TNI AL
DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN MENURUT      UU NO 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN


Oleh : Akhmad Hartono, S.Kel.,M.Si.



1.         Pendahuluan
            Mencermati perkembangan situasi nasional regional maupun global dimana aktifitas dan volume kegiatan lewat laut semakin meningkat dan cenderung menimbulkan berbagai bentuk tindak pidana, maka kegiatan penyidikan di laut sebagai subsistem upaya penegakan hukum di perairan Indonesia sudah pasti memerlukan kekuatan yang prima, sarana/prasarana yang memadai termasuk sumber daya manusia (SDM) sebagai pengawak organisasi. TNI AL sebagai salah satu penegak hukum di laut, sejak awal memang merupakan instansi yang dibentuk, dibina dan diarahkan untuk bekerja maksimal di laut, sehingga konsekuensi logis maka SDM TNI AL harus memahami dan mengerti karakteristik serta kehidupan di laut sebagai habitat dan medan juang pengabdiannya.
            Disisi lain, disadari pula bahwa penegak hukum di perairan Indonesia tidak mungkin diwujudkan dan ditangani oleh satu instansi semata tanpa keterlibatan instansi pemerintah lainnya. Oleh karena itu sistem penegakan hukum di perairan Indonesia seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan semua potensi kekuatan nasional yang ada memiliki kewenangan penyelenggara penegak hukum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
2.         Dasar hukum dan kewenangan
            Pada dasarnya semua kewenangan instansi pemerintah (termasuk TNI AL) di negara ini sudah diatur dan ditentukan secara limitatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga kewenangan TNI AL untuk melakukan penghentian dan pemeriksaan di semua perairan sudah ditentukan oleh peraturan internasional maupun perundang-undangan nasional. Bahkan sejak Zaman Hindia Belanda, Angkatan Laut (pada waktu itu bernama Koninklijke Marine) sudah diberi kewenangan oleh Undang-Undang (ordonansi) Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (TZMKO tahun 1939 Nomor 442 yang berlaku hingga sekarang) untuk melakukan penghentian, pemeriksaan terhadap kapal-kapal yang dicurigai. “mereka yang ditugaskan melakukan pengusutan tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dalam ordonansi ini berwenang (berhak) untuk menahan dan memeriksa kapal-kapal dan tongkang-tongkang, yang mana penumpang-penumpangnya dicurigai melakukan atau berniat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam ordonansi ini “ (pasal 15 (1) TZMKO). Yang dimaksud dengan kata “mereka” pada pasal diatas adalah aparat yang diberi kewenangan untuk memelihara dan mengawasi penaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi tersebut, yaitu Komandan Kapal-kapal Perang Angkatan Laut, Nakhoda-nakhoda dari Jawatan Pelayaran Negara, Nakhoda-nakhoda Kapal-kapal Perambuan, syahbandar, Pandu-pandu Laut dan Pegawai-pegawai (orang-orang) yang ditunjuk.
Kewenangan penyidik TNI AL, diatur dalam Pasal 282 (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dimana selain Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dalam penyidikan Pasal 282 (1) yang dimaksud “penyidik lainya” disini adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.  Jika kita kaji lebih lanjut yang dimaksud dengan pengertian Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Oleh karena itu secara yuridis TNI AL mempunyai  konsekuensi untuk melakukan pemeriksaan mengenai adanya dugaan tindak pidana maupun yang berhubungan dengan keamanan dan ketertiban pelayaran.
Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah, Pembinaan Pelayaran meliputi Pengaturan, Pengendalian, dan Pengawasan. Dimana Pengaturannya adalah meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara lain, penentuan norma, pedoman, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan. Pengendalian adalah meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian. Pengawasan adalah meliputi kegiatan pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan tindakan penegakan hukum.
Pembinaan Pelayaran dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim sebagai bagian dari keseluruhan transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran dan sarana bantu navigasi pelayaran yang memadai  dalam rangka menunjang angkutan di perairan.
Kegiatan dan operasi keamanan laut yang menyangkut penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta keselamatan pelayaran dan pengamanan terhadap aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan laut yurisdiksi nasional Indonesia, semakin mengemuka dan menjadi perhatian sejalan dengan adanya pengaruh lingkungan strategis di kawasan baik dalam skala nasional, regional maupun global. Dalam penjelasan resmi Pasal 340 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran “kewenangan penegakan hukum pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif dilaksanakan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).  Di dalam wilayah hingga 200 mil laut dari garis pangkal, negara laut dan kepulauan memiliki hak kedaulatan khusus terhadap seluruh sumberdaya alam (tetapi bukan kedaulatan yang lebih luas di dalam zona tersebut).  Di dalam ZEE, negara pantai dan kepulauan memiliki hak khusus untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melestarikan dan mengelola seluruh sumberdaya hayati dan nonhayati.  Hak-hak ini berlaku juga pada dasar laut, lapisan tanah di bawahnya serta perairan di atasnya. Negara pantai dan kepulauan dapat menegakkan hukum terkait dengan hak-hak kedaulatan yang mereka miliki terhadap sumberdaya hayati di dalam ZEE.  Penegakan hukum terkait dengan kapal niaga asing dapat meliputi penggeledahan, pemeriksaan, dan penangkapan.
Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6  UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yaitu angkutan laut, angkutan sungai dan danau, dan angkutan penyeberangan, dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan, dimaksud dalam Pasal 27 UU Nomor 17 Tahun 2008 untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan orang perseorangan warga Negara Indonesia atau badan usaha wajib memiliki izin usaha, terkait dengan usaha yang dimaksud dijelaskan dalam Pasal 287 UU Nomor 17 Tahun 2008 setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan di perairan tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
3.         Kesimpulan.
            TNI AL selaku “penyidik” lainnya dalam tindak pidana pelayaran, diatur dalam penjelasan resmi Pasal 282 (1) dan Pasal 340 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran TNI AL berwenang melakukan Penyidikan di perairan Indonesia dan Penegakan Hukum pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
            Diharapkan dengan lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, TNI AL dapat melakukan tindakan hukum yang profesional dalam menyelesaikan tindak pidana pelayaran.

PANDUAN FASILITATOR


PANDUAN FASILITATOR SOSIALISASI DAN KONSULTASI PUBLIK PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU


Oleh : Akhmad Hartono, S.Kel., M.Si.

Kelompok Sasaran; Warga Pesisir dan Nelayan

Pokok Bahasan :  Partisipasi, Pemberdayaan Masyarakat Pesisir/Nelayan dalam Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Laut Sawu


Tujuan:

Di akhir sesi para peserta sosialisasi dan konsultasi publik mendapatkan:
1.      Pemahaman tentang keunggulan sumberdaya Laut Sawu
2.      Pemahaman dan kesadaran pentingnya mengelola dan konservasi Sumberdaya Laut Sawu.
3.      Mampu menyampaikan usulan usulan kongkrit untuk mendukung upaya pengelolaan dan konservasi Laut Sawu
4.      Memberi komitmen bentuk partisipasinya dalam pengelolaan dan konservasi Laut Sawu.
5.      Mempunyai usulan / rencana memberdayaan masyarakat pesisir/nelayan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

Proses untuk Peserta yang jumlahnya lebih dari 10 orang sampai 100 orang:

Waktu:  Waktu yang diperlukan untuk sosialisasi dan konsultasi publik dengan peserta sebanyak itu biasanya memakan waktu minimal 240 menit efektif.
Proses sosialisasi dan konsultasi publik yang pesertanya lebih dari 10 orang sampai 100 orang dan berkumpul dalam satu tempat biasanya menggunakan alur sebagai berikut.

- Sesi pertama;  Pengantar acara sosialisasi dan konsultasi publik dimulai pembukaan yang dilakukan oleh penyelenggara dan sambutan sambutan dari para pemangku pekentingan.  Setelah acara pembukaan dan sambutan sambutan tersebut selesai, proses kegiatan diserahkan kepada fasilitator untuk memandu proses. Ketika fasiliatator akan mulai memandu proses, sebaiknya fasiliator melihat suasana dan kondisi. Kalau kondisi peserta belum hadir semua, maka sebaiknya alur prosesnya bermula dari penggalian gagasan melalui diskusi kelompok dengan metode FGD (Fokus Group Discusion), dilanjutkan  diskusi pleno. Setelah diskusi  pleno presentasi hasil dikusi kelompok ( peserta sudah hadir semua), fasilitator memfasiltasi penyampaian  sosialisasi dan konsultasi publik  (bisa menghadirkan narasumber atau bisa dilakukan oleh fasiliatator sendiri). Namun apa bila kondisi peserta sudah mengumpul semua, maka alur prosesnya bermula dengan memberi sosialisasi materi bahasan (bisa dilakukan sendiri atau menghadirkan nara sumber), setelah itu peserta digali gagasannya melalui diskusi kelomopok dengan metode FGD (Fokus Group Discusion) dan dilanjutkan diskusi  pleno presentasi hasil dikusi kelompok.

- Sesi kedua; Fasilitator  membagi kelompok berdasarkan; (1) kelompok diskusi berdasarkan kesamaan kepentingan (mata pencaharian); (2) kelompok diskusi berdasarkan kesamaan tempat tinggal / pemukiman; (3) kelompok diskusi berdasarkan gender (laki dan perempuan). Setelah pembagian kempok berilah mandat fokus pembahasan yang akan didiskusi kelompok diskusi. Durasi waktu diskui kelompok  sekitar 30 – 45 menit. Kelompok diskusi dibagi empat kelompok. Fokus dikusi setiap kelompok mengikuti panduan FGD yang telah tersedia.

- Sesi ketiga; Fasilitator meminta semua peserta untuk mengikuti diskusi pleno mempresentasikan hasil diskusi kelompok dengan metode FGD. Fasilitator memberi kesempatan kepada semua wakil dari kelompok diskusi untuk mempresentasikan di depan semua peserta dengan durasi waktu antara 10 sampai 15 menit.   Metode presentsi menggunakan cerita, atau menggunakan alat bantu tulisan di kertas plano, atau menggunakan alat bantu power point-LCD. Setelah presentasi hasil diskusi kelompok selesai, fasilitator meminta kesempatan kepada anggota kelompoknya untuk memberi tambahan atau pembetulan. Kemudian fasilitator memberi kesempatan dari kelompok lain untuk membahasnya.

- Sesi Keempat; Fasilitator memberi masukan terhadap hasil diskusi pleno. Kemudian fasilitator memberi penegasan dan input tentang: (a) Keunggulan Laut Sawu tingkat dunia, nasional, lokal (b) Kerusakan yang telah terjadi secara umum di Laut Sawu. (c) Rencana Program Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu khsusnya  rencana zonasi, pengelolaan dan konservasi Laut Sawu. Pemberian input tentang tersebut bisa menghadirkan narasumber atau dilakukan sendiri.

- Sesi kelima;Fasilitator menyimpulkan hasil sosialisasi dan konsultasi publik secara singkat dan menyampaikan tindak lanjutnya. Kesimpulan yang perlu diperjelas adalah kesimpulan tentang usulan atau rekomendasi peserta yang dipilah ke dalam dua kelompok yaitu usulan / rekomendasi program dan usulan / rekomendasi yang berupa peraturan atau kebijakan publik.  Fasiliator juga perlu memperjelas tindak lanjut hasil sosialisasi dan konsultasi publik yang akan disampaikan kepada Tim P4KKP Laut Sawu.


Metode Untuk Ruang Terbuk: 

Metode yang digunakan adalah ceramah, monolog dan dialog, Fokus Group Discusion, dan presentasi hasil FGD oleh masing masing kelompok.

Alat Bantu:Papan untuk kertas plano, spidol besar, gambar, dan pengeras suara.



Panduan Focus Group Discusion (FGD)

Kelompok Diskusi Pertama;

1.      Anggota kelompok diminta menunjuk salah seorang anggotanya untuk memimpin diskusi dan satu orang untuk mencatat.  
2.      Foksu diskusi: (a)  membahas  berbagai keunggulan  dan contoh contoh riil tentang sumberdaya Laut Sawu diwilayahnya. (b) membahas  berbagai cara dan alat bantu yang digunakan masyarakat untuk mengambil kemanfaatan sumberdaya Laut Sawu diwilayahnya. (c) Membahas usulan / dukungan teknis cara dan alat bantu mengoptimalkan sumberdaya Laut Sawu di Wilayahnya.
3.      Hasilnya ditulis di kertas plano, dan menunjuk seorang anggota kelompok untuk mempresentasikannya.

Kelompok Diskusi Kedua;

1.      Anggota kelompok diminta menunjuk salah seorang anggotanya untuk memimpin diskusi dan satu orang untuk mencatat. 
2.      Fokus diskusi adalah; (a) Membahas berbagai kerusakan yang tekah terjadi dan mungkin akan terjadi pala Laut Sawu di Wilayahnya. (b) Membahas penyebab kerusakan yang terjadi pada Laut Sawu di Wilayahnya. (c) Membahas usulan usulan untuk melakukan konservasi Laut Sawu di wilayahnya.
3.      Hasilnya ditulis di kertas plano, dan menunjuk satu orang anggotanya untuk mempresentasikannya.

Kelompok Diskusi Ketiga;
1.      Anggota kelompok diminta menunjuk salah seorang anggotanya untuk memimpin diskusi dan satu orang untuk mencatat. 
2.      Fokus diskusi adalah; (a)  membahas  berbagai adat kebiasaan, tradisi sosial untuk konservasi Laut Sawu di wilayhnya. (b) Membahas berbgai sistem pengawasan dari pemerintah untuk menjaga Laut Swau di wilayahnya. (c) Membahas usulan usulan untuk memperkuat tradisi konservasi Laut Sawu di wilayahnya dan usulan usulan kepada pemerintah untuk mengawasi Laut Sawu agar jangan terjadi kerusakan.
3.      Hasilnya ditulis di kertas plano, dan menunjuk satu orang anggotanya untuk mempresentasikannya

Kelompok Diskusi Keempat;

1.      Anggota kelompok diminta menunjuk salah seorang anggotanya untuk memimpin diskusi dan satu orang untuk mencatat. 
2.      Fokus diskusi adalah; (a)  membahas  potensi alam dan manusia di lingkungannya yang dapat mendukung peningkatan kualitas kehidupannya. (b) Membahas berbagai kondisi kelemahan dan kekurangan seperti kesehatan, mata pencaharian,  pendidikan, perumahan, sarana transportasi dan komunikasi. (c) Usulan rencana program program pemberdayaan masyarakat yang bisa meningkatkan kualitas kehidupannya.  Hasilnya ditulis di kertas plano, dan menunjuk satu orang anggotanya untuk mempresentasikannya


HARI NUSANTARA 1. SEJARAH HARI NUSANTARA a. Hari Nusantara permtama kali diperingati tahun 1999 (ke 12 kali) pada saat Pemerintahan Presiden Gusdur. b. Momentum peringatan didasarkan pada Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957 sebagai tonggak peringatan Hari Nusantara, dimana PBB akhirnya menerima dan menetapkan konsepsi negara kepulauan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982. ( diratifikasi dg UU No.17 tahun 1985) c. Prinsip-prinsip negara kepulauan (nusantara) dalam konsepsi tersebut telah berakibat bertambahnya luas wilayah Indonesia, dan wilayah Indonesia menjadi bulat dan utuh tidak terpisah-pisah (UU No. 6 Tahun 1996 ttg perairan Indonesia jo UU No. 43 Tahun 2008 ttg Wilayah Negara RI). Sejarah Masa Lalu d. Mengenai Nusantara sebenarnya tidak harus berpijak pada Deklarasi Djuanda, tetapi ada peristiwa besar pada zaman sebelumnya yaitu ketika NKRI belum terbentuk. ”Nusantara” atau ”Nuswantara” yang dalam pewayangan juga disebut sebagai ”dwipantara” merupakan kepulauan seberang India. e. Sedangkan pada zaman Majapahit penyebutan nusantara ditujukan untuk Pulau-pulau yang terletak di seberang pulau Jawa. Penyebutan ini sebenarnya mempunyai muatan politis yang dirancang oleh Gadjahmada yaitu politik penyatuan Nusantara di bawah pimpinan Panji-panji Majapahit. Gadjahmada bisa dikatakan sebagai orang yang meletakkan dasar-dasar penyatuan Nusantara yang tidak hanya berdaulat di darat saja melainkan di laut juga. f. Berbeda dengan arti Nusantara versi Gadjahmada, M.Yamin mengartikan Nusantara adalah nusa berarti pulau, antara berarti terletak diantara sesuatu, atau suatu wilayah yang disatukan oleh laut. Jadi Laut merupakan penyatu bukannya sebagai pemisah antarpulau. hal ini juga yang mendasari mengapa kita menyebut Negara kelahiran sebagai Tanah air, berbeda dengan negara-negara lain yang dalam penyebutan negeri kelahirannya hanya sebagai motherland. Mengapa?? karena Tanah air bagi bangsa kita merupakan representasi dari pulau atau daratan yang menyatu dengan laut. g. Jadi tak salah kita menyebut negeri kita, sebagai Negara Kepulauan walaupun belum menjadi negara maritim. Namun semoga dengan diperingatinya Hari Nusantara pada tanggal 13 Desember menjadikan Negara kita menjadi Negara Maritim yang sebenarnya, menjadi Penerus Negara Maritim Sriwijaya dan Negara Maritim Majapahit. Kedua kerajaan yang menjadikan laut sebagai kekuatan strategisnya. "Jalesveva Jayamahe" justru di laut kita jaya. 2. Esensi Hari Nusantara Bagi TNI AL a. Laut merupakan wahana pemersatu bangsa. b. Laut merupakan Medan Juang dalam membentengi negara dari serangan negara lain. c. Laut merupakan Sumber kekayaan baik hayati dan non hayati yang dpt dimanfaatkan untuk kesejahteraan. d. Merupakan perinngatan tonggak bagi perjuangan geostrategi dan geopolitik negara. e. Laut merupakan sumber ancaman, maka TNI AL harus mampu menyusun pertahanan laut yang besar kuat dan profesional, dengan dukungan pemerintah dan interest politik negara. 3. Stratifikasi Batas Laut. a. Internal Water (Laut Nusantara) Adalah perairan yang menghubungkan antar pulau didalam wilayah negara kesatuan republik Indonesia. b. Eksternal Water : 1) Teritorialle Zone (Zona Laut Teritorial) adalah sejauh 12 mil dari garis dasar kearah laut lepas. 2) Contiguous Zone (Zona Laut Tambahan) adalah sejauh 12 mil dari batas Zona laut teritorial (sampai 24 mil dari garis dasar kearah laut lepas) 3) Economic exsclusive Zone (Zona Laut Ekonomi Eksklusive) adalah sejauh 176 mil dari zona ekonomi eksklusive atau sejauh 200 mil dari garis dasar kearah laut lepas. 4) High Seas (Laut bebas) adalah zona diatas 200 mil 4. Moment Hari Nusantara, Lanal Yga telah melakukan: a. Kegiatan penyelamatan dan peduli lingkungan, khususnya diwilayah pantai selatan DIY dengan melakukan kegiatan (2009-2011) : 1) Bersih pantai beberapa tempat wisata pantai. 2) Penanaman pohon disepanjang sempadan pantai kabupaten di wilayah yogyakarta. 3) Penanaman pohon di sempadan sungai progo kab Bantul. b. Kegiatan pembinaan 1) Pembinaan kecintaan terhadap laut terhadap generasi muda dengan melaksanakan lomba lukis, lomba membuat essay. 2) Pembinaan terhadap olah raga air di wilayah yogyakarta 3) Merubah mindset generasi muda khususnya pramuka sakabahari, agar mau mempelajari ilmu kelautan, karena laut memiliki SDA yang banyak dan harus digali dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. 4) Pelatihan wirausaha di bidang kelautan untuk purna tugas dan umum. 5) Pembinaan dan koordinasi terhadap kegiatan SAR Laut. 6) Seminar kelautan. 7) Pembinaan kesadaran bela negara terhadap pemuda daerah maritim Wilayah Lanal Yogyakarta. 8) Dll.

ALKI III DAN TNP LAUT SAWU


ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA III DAN
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU

Oleh :  A. Hartono, S.Kel., M.Si.
(Anggota Dewan Konservasi Perairan Provinsi NTT/ DKPP NTT)


Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang terletak pada posisi  80 - 120 LS dan 1180 - 1250 BT, dengan luas laut ±  200.000 Km2  dan luas daratan ± 47.349,9 Km2, memiliki jumlah pulau 1.192 (432 pulau bernama dan 44 pulau berpenghuni). Berdasarkan letak geografis, Provinsi NTT berhadapan dan berbatasan langsung dengan Negara RDTL dan Australia, dilalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI III A) di Selat Ombai dan Laut Sawu yang merupakan jalur SLOC dan SLOT, selain itu sebagian dari wilayah laut sawu merupakan kawasan pengelolaan Taman Nasional Perairan Laut Sawu (TNP Laut Sawu). Secara administratif TNP Laut Sawu berada di wilayah 10  Kabupaten di Provinsi NTT dengan luas ± 3.355.352,82 juta hektar.

Perairan Laut Sawu

Laut Sawu terletak di belahan timur bentang laut sunda kecil (lesser sunda seascape) dan berada pada wilayah segitiga terumbu karang dunia (coral triangle) yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Coral triangle meliputi wilayah laut Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Selain hal tersebut  perairan Laut Sawu juga sebagai perlintasan bagi 14 jenis ikan paus, habitat bagi; lumba-lumba, duyung, ikan pari manta, penyu serta merupakan jalur  pelayaran nasional dan internasional.
Laut Sawu memiliki nilai strategis bagi Provinsi NTT karena hampir sebagian besar masyarakat Kabupaten / Kota di NTT sangat tergantung kepada Laut Sawu,  lebih dari 65 % potensi lestari sumberdaya ikan di provinsi ini  disumbang oleh Laut Sawu. Namun demikian, di kawasan Laut Sawu juga terdapat berbagai permasalahan yang komplek seperti perusakan terumbu karang, penurunan populasi hewan penting, praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya.  

Pembentukan TNP Laut Sawu

Pada tahun 2009 saat pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) di Manado, Laut Sawu dideklarasikan oleh pemerintah sebagai cadangan Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Perairan Laut Sawu melalui Kepmen KKPRI No. KEP.38/MEN/2009 tanggal 8 Mei 2009,  yang meliputi perairan seluas lebih dari 3,5 juta hektar yang terdiri dari 2 bagian yaitu; Wilayah Perairan Selat Sumba dan Sekitarnya seluas 567.165,64 hektar dan Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan Sekitarnya seluas 2.953.964,37 hektar. TNP Laut Sawu terletak pada koordinat 118° 54’ 54,44” BT - 124° 23’ 17,089” BT dan 0 45’ 49,96” LS  - 11° 9’ 43,92” LS. Secara administrative  kawasan TNP Laut Sawu meliputi perairan laut di 10 kabupaten.
Tujuan dibentuknya TNP Laut Sawu adalah untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya terutama setasea sebagai bagian wilayah ekologi perairan laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Marine Eco-Region), melindungi dan mengelola ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya sebagai platform pembangunan daerah (bidang perikanan, pariwisata, masyarakat pesisir, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood).
Kawasan TNP Laut Sawu di wilayah perairan antara Pulau Rote dan Pulau Timor memotong Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI IIIA), sehingga kawasan tersebut menjadi tumpang tindih yakni sebagai ALKI IIIA sekaligus merupakan bagian dari kawasan konservasi TNP Laut Sawu. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana status hukum ALKI dan TNP Laut Sawu, Apakah jalur ALKI diperbolehkan untuk dikelola sebagai kawasan konservasi ?



Gambar 1. Peta Batas Kawasan TNP laut Sawu


Zonasi  TNP  Laut Sawu

Zonasi menurut Pasal 1 Angka 12, UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
Tim Pengkajian, Penetapan dan Perancangan Pengelolaan (Tim P4KKP) Laut Sawu (ditetapkan dengan Skep Gubernur NTT Nomor : 180 / Kep / HK / 2009 tanggal 23 Juni 2009), yang kemudian menjelma menjadi Dewan Konservasi Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur  (ditetapkan dengan Skep Gubernur NTT Nomor : 74 /KEP/HK/2013 tanggal 15 Maret 2013), bersama  Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang dan stakeholders lainnya yang tergabung dalam Kelompok Kerja telah berhasil menyusun dokumen Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi (RPRZ) TNP Laut Sawu Periode 2014-2034 yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 06/KEPMEN-KP/2014.
Penataan zonasi TNP Laut sawu didasarkan pada berbagai hasil studi dan analisis yang mendalam, ground-truthing dan konsultasi publik dengan stakeholder  terkait di tingkat pusat, provinsi dan 10 kabupaten yang masuk dalam TNP Laut Sawu.  Luas total zona inti TNP Laut Sawu adalah 79.668,62 hektare atau sebesar 2,37 persen dari luas total kawasan TNP Laut Sawu.  Zona TNP Laut Sawu terdiri dari :  Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan (Sub Zona Perikanan Berkelanjutan Tradisional dan Sub Zona Perikanan Berkelanjutan Umum), Zona Pemanfaatan Pariwisata Alam Perairan, dan Zona Lainnya (Zona Kearifan Lokal, Zona Perlindungan Setasea, Zona Pemanfaatan Pariwisata dan Budidaya).  
ALKI III A
 
Gambar 2.  Zonasi TNP Laut Sawu

Alur Laut Kepulauan Indonesia

Sebelum  konsep negara kepulauan (archipelagic state) ditetapkan dalam UNCLOS 82, pengaturan Laut Kepulauan Indonesia menganut rejim Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO), dimana wilayah laut Indonesia hanya 3 mil dari garis batas pantai pulau. Artinya, perairan diantara pulau-pulau yang jaraknya lebih dari 3 mil adalah laut Internasional / laut bebas. Dengan “Deklarasi Djoeanda”  kemudian konsep negara kepulauan di tetapkan melalui  UNCLOS III di Chicago tahun 1982 dan  Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi dengan Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982.
Konsekuensi sebagai archipelagic state maka Negara Indonesia harus menetapkan archipelagis sea lanes untuk pelayaran dan penerbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UNCLOS 82, yaitu :Negara kepulauan berdaulat penuh atas perairan kepulauannya tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai dan kedaulatan penuh tersebut meliputi ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya, Negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauan (archipelagis sea lanes) dan lintas damai bagi pelayaran Internasional.
Selanjutnya dalam Pasal 52 ayat (1) menyatakan bahwa : kapal-kapal dari semua Negara mempunyai hak untuk lintas damai melalui perairan kepulauan. Kemudian aturan ini di transformasikan kedalam PP Nomor 37/2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan. Sesuai dengan hal tersebut Negara Indonesia saat ini telah menetapkan tiga alur laut kepulauan yaitu :
1.    ALKI I melintasi Laut Cina Selatan-Selat Karimata-Laut DKI-Selat Sunda,
2.    ALKI II melintasi Laut Sulawesi-Selat Makassar-Laut Flores-Selat Lombok
3.    ALKI III melintasi laut maluku, laut seram, laut banda, selat ombai dan laut sawu.

Memahami Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) | Kaskus - The Largest ...Text Box: 1.
Gambar 2. Alur Laut Kepulauan Indonesia


ALKI III A Dalam Kontek pengelolaan TNP Laut Sawu

Negara Indonesia sebagai archipelagic state berkewajiban untuk menetapkan archipelagis sea lanes, namun masih ada keharusan yang maha penting yaitu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat serta melindungi dan melestarikan sumberdaya alam, sebagaimana diatur dalam Pasal 192 UNCLOS 82 yaitu : Negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Selanjutnya dalam Pasal 193 UNCLOS 82 disebutkan bahwa : Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasikan kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Negara Indonesia telah ditransformasikan aturan kedalam UU tentang lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam diantaranya adalah UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Berdasarkan perundangan tersebut maka pembentukan TNP Laut Sawu adalah legitimate dan  tindakan Negara Indonesia sudah benar dengan mengelola laut kepulauan / nusantara termasuk membuat rencana pengelolaan TNP Laut sawu. Namun sebagaimana terlihat dalam Rencana Zonasi TNP Laut Sawu (Gambar 2. Peta Zonasi TNP Laut Sawu) diketahui bahwa ada zona dalam TNP Laut Sawu yang memotong ALKI III A yaitu di kawasan perairan Laut Sawu antara P. Rote dengan P. Timor dan zona tersebut merupakan zona perlindungan setasea. Apakah tindakan tersebut di perbolehkan bahwasanya ALKI IIIA yang merupakan alur laut kepulauan untuk kepentingan pelayaran Internasional di kelola sebagai Taman Nasional Perairan (TNP Laut Sawu).
Pengakuan Negara kepulauan terhadap hak-hak lintas alur kepulauan harus dilaksanakan karena mengingat status perairan tersebut semula  tunduk pada rezim laut lepas, akan tetapi setelah berlaku Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 82) dan diratifikasi  maka yang semula statusnya menganut rejim laut lepas sekarang menganut rejim perairan kepulauan yang tunduk pada kedaulatan penuh Negara kepulauan. Hasyim Djalal (2013) mengatakan bahwa Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sesuai International Sea Lane Rules dimana semua (kecuali dalan point ke-5) sudah diakui/diatur oleh PP 37 Tahun 2002 dimana ALKI menjamin pelayaran asing untuk dapat melintas wilayah kedaulatan Indonesia secara damai.
Selanjunya menurut Hasyim Djalal : 2013 bahwa ALKI itu sendiri bukan suatu koridor atau ruang khusus dan tidak mempunyai lebar tertentu, jadi ALKI tidak perlu memberikan koridor atau ruang khusus tersendiri, karena ini justru dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan bagi kedaulatan Indonesia dalam mengelola wilayah lautnya. Dalam pengelolaan laut di Indonesia sendiri tidak ada larangan untuk membentuk kawasan konservasi di laut wilayah yang ada ALKI-nya dan apabila Pemerintah Indonesia ingin membentuk sebuah kawasan konservasi  di wilayah laut yang merupakan ALKI, maka institusi yang terkait dengan konservasi memiliki kewenangan untuk mengelola hal-hal yang terkait dengan konservasi di wilayah laut tersebut (Hasyim Djalal, 2013).


Pengaruh Pengelolaan TNP Laut Sawu terhadap ALKI IIIA

TNP Laut Sawu telah ditetapkan sebagai Taman Nasional Perairan maka ada berbagai keuntungan yang dapat diambil, Pertama TNP Laut Sawu sebagai kawasan konservasi (TNP) menjanjikan pengelolaan dan pengawasan di kawasan tersebut akan menjadi semakin intensif karena mendapat dukungan anggaran yang besar dari Pemerintah. Kedua,  kontrol penggunaan ALKI dapat semakin meningkat karena mendapatkan perkuatan tambahan  dari pengawas  TNP Laut Sawu, demikian juga sebaliknya. Ketiga bahwa pengelolaan laut sawu merupakan pengelolaan yang berbasis masyarakat maritim, hal ini mengandung arti bahwa masyarakat akan terbina dan terdidik menuju masyarakat madani dan masyarakat dapat sebagai perpanjangan tangan dalam pengawasan ALKI dan TNP Laut Sawu, sehingga secara langsung maupun tidak langsung mereka dapat membantu dalam pengawasan penggunaan ALKI IIIA sebagai alur pelayaran Internasional dan para stakeholder ALKI III dapat mematuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam PP No.37/2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan.

Simpulan
1.    Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola ALKI sesuai  International Sea Lanes Rules.
2.    ALKI tidak mempunyai lebar tertentu dan bukan suatu koridor atau ruang khusus serta Tidak ada larangan untuk membentuk kawasan konservasi di laut di wilayah yang ada ALKI
3.    Jika Pemerintah Indonesia ingin membentuk sebuah kawasan konservasi di wilayah laut yang ada ALKI, maka institusi yang terkait dengan konservasi memiliki kewenangan untuk mengelola hal-hal yang terkait dengan konservasi di wilayah laut tersebut.
4.    Pengelolaan TNP Laut Sawu tidak mengganggu keberadaan ALKI  yang digunakan sebagai alur pelayaran internasional dan pengelolaan TNP laut Sawu merupakan aksi dari transformasi Pasal 92 dan 93 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 82).